Learning history for all people
Kota dan Jaringan Intelektual pasca
politik etis
Potensi ekonomi Indonesia yang luar biasa tidak saja
diketahui oleh VOC, Daendels, Raffles, Van Den Bosch, tetapi juga oleh
pemerintah colonial Belanda berikutnya. Di
keluarkannya Undang-Undang Agraria oleh Pemerintah Kolonial Belanda membuka
jalan bagi upaya lebih mengeksploitasi kekayaan
alam Indonesia.
Kebijakan mengeluarkan Undang-Undang Agraria memberi payung
hokum bagi pemerintah colonial Belanda dan kaum kapitalis Belanda untuk lebih
banyak menarik keuntungan dari alam Indonesia.
Kebijakan tentang UU Agraria disusul oleh kebijakan mengundang investor
kaya Belanda untuk berinvestasi di Indonesia dengan konsesi luas lahan yang
luar biasa dan masa sewa yang juga luar biasa, 75 tahun.
Kebijakan Undang-undang Agraria dan Sistem Usaha Swasta
memang merugikan Indonesia dalam jangka pendek maupun Jangka panjang, tetapi, sangat menguntungkan
bagi kaum kapitalis kaya dari Belanda, maupun bagi pemerintah colonial Belanda. Pemerintah colonial Belandapun mendapat uang
pajak tanah, uang sewa tanah perkebunan, pajak ekspor, serta kestabilan politik,
melalui banyaknya kaum pribumi yang memiliki pekerjaan.
Bagi bangsa Indonesia, semua kebijakan Belanda selalu
merugikan bangsa Indonesia. Politik etis
yang dirancang dengan tujuan membalas budi kepada bangsa Indonesia, tetap saja
menyakitkan hati. Karena, lembaga
pendidikan Belanda hanya menerima anak-anak pribumi yang orangtuanya mengabdi
kepada kepentingan pemerintah colonial Belanda. Bila orangtuanya seorang
Assisten Residen, Bupati, Wedana atau camat dan jabatan setingkat maka
anak-anaknya dapat menikmati pendidikan berkualitas khas Belanda, HIS,
MULO,HBS, AMS dan lain-lain. Tetapi,
bila bukan pejabat maka anaknya hanya bisa sekolah disekolah Partikelir dengan
sarana seadanya.
Sedikit kecerahan dari politik etis ini adalah lahirnya kaum
intelektual pribumi Indonesia dari berbagai kota kecil, baik berasal dari
sekolah-sekolah Belanda maupun dari sekolah-sekolah partikelir pribumi, HOS
Tjokroaminoto, Ir Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Muis, Tan Malaka, Tjipto
Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Sutan Sjahrir, HAMKA, H. Agus Salim, Mohammad
Hatta, Mr. Mohammad Yamin, KH. Hasyim Asy’ari,M Natsir, Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo, Otto Iskandardinata dll. yang berusaha membangun kesadaran intelektual
sekaligus kesadaran berbangsa, kesadaran untuk merdeka, yang tak diinginkan
pemerintah colonial.(http://Myhistoryofleadership.blogspot.com )
Mereka tumbuh di era colonial dengan semangat menimba ilmu
untuk mendukung upaya memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Mereka lahir dari berbagai pelosok kota kecil
dipulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku. Mereka bertemu disekolah, mereka
bertemu dalam pertemuan organisasi kepemudan atau partai politik, mereka bertemu
ide – ide yang kemudian memunculkan “Sumpah Pemuda” dan “Cita-cita Indonesia
merdeka”.
Sekolah – sekolah yang ada pada kota-kota dengan industry
berbasis ekonomi perkebunan menjadi
pusat lahirnya kaum intelektual muda Indonesia.
Potret pahit nasib rakyat Indonesia dalam belenggu kolonialisme dan
kapitalisme pasar global dapat mereka saksikan dan rasakan yang membuat mereka
makin yakin untuk diperjuangkan dan diantarkan menuju gerbang kemerdekaan.
Perjalanan keberbagai kota yang dilakukan HOS Tjokroaminoto,
Hamka, H. Agus Salim,(http://Myhistoryofleadership.blogspot.com ) membentuk jaringan intelektual diberbagai kota. Diskusi-diskusi politik yang dilakukan
Soekarno dan kawan-kawan, baik di Surabaya, Bandung makin mengikatkan tumbuhnya
jaringan intelektual kaum pribumi yang membuat ide nation Indonesia, Indonesia
merdeka, makin kuat, meluas dan mulai mengakar kependuduk pribumi terpelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar