Kamis, 29 Oktober 2015

Kota dan Jaringan intelektual Pasca Politik Etis

Learning history for all people

Kota dan Jaringan Intelektual pasca politik etis
Potensi ekonomi Indonesia yang luar biasa tidak saja diketahui oleh VOC, Daendels, Raffles, Van Den Bosch, tetapi juga oleh pemerintah colonial Belanda berikutnya.  Di keluarkannya Undang-Undang Agraria oleh Pemerintah Kolonial Belanda membuka jalan bagi upaya lebih mengeksploitasi kekayaan  alam Indonesia.
Kebijakan mengeluarkan Undang-Undang Agraria memberi payung hokum bagi pemerintah colonial Belanda dan kaum kapitalis Belanda untuk lebih banyak menarik keuntungan dari alam Indonesia.  Kebijakan tentang UU Agraria disusul oleh kebijakan mengundang investor kaya Belanda untuk berinvestasi di Indonesia dengan konsesi luas lahan yang luar biasa dan masa sewa yang juga luar biasa, 75 tahun.
Kebijakan Undang-undang Agraria dan Sistem Usaha Swasta memang merugikan Indonesia dalam jangka pendek maupun  Jangka panjang, tetapi, sangat menguntungkan bagi kaum kapitalis kaya dari Belanda, maupun bagi pemerintah colonial Belanda.  Pemerintah colonial Belandapun mendapat uang pajak tanah, uang sewa tanah perkebunan, pajak ekspor, serta kestabilan politik, melalui banyaknya kaum pribumi yang memiliki pekerjaan.
Bagi bangsa Indonesia, semua kebijakan Belanda selalu merugikan bangsa Indonesia.  Politik etis yang dirancang dengan tujuan membalas budi kepada bangsa Indonesia, tetap saja menyakitkan hati.  Karena, lembaga pendidikan Belanda hanya menerima anak-anak pribumi yang orangtuanya mengabdi kepada kepentingan pemerintah colonial Belanda. Bila orangtuanya seorang Assisten Residen, Bupati, Wedana atau camat dan jabatan setingkat maka anak-anaknya dapat menikmati pendidikan berkualitas khas Belanda, HIS, MULO,HBS, AMS dan lain-lain.  Tetapi, bila bukan pejabat maka anaknya hanya bisa sekolah disekolah Partikelir dengan sarana seadanya.
Sedikit kecerahan dari politik etis ini adalah lahirnya kaum intelektual pribumi Indonesia dari berbagai kota kecil, baik berasal dari sekolah-sekolah Belanda maupun dari sekolah-sekolah partikelir pribumi, HOS Tjokroaminoto, Ir Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Muis, Tan Malaka, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Sutan Sjahrir, HAMKA, H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, KH. Hasyim Asy’ari,M Natsir, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Otto Iskandardinata dll. yang berusaha membangun kesadaran intelektual sekaligus kesadaran berbangsa, kesadaran untuk merdeka, yang tak diinginkan pemerintah colonial.(http://Myhistoryofleadership.blogspot.com )
Mereka tumbuh di era colonial dengan semangat menimba ilmu untuk mendukung upaya memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.  Mereka lahir dari berbagai pelosok kota kecil dipulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku. Mereka bertemu disekolah, mereka bertemu dalam pertemuan organisasi kepemudan atau partai politik, mereka bertemu ide – ide yang kemudian memunculkan “Sumpah Pemuda” dan “Cita-cita Indonesia merdeka”.
Sekolah – sekolah yang ada pada kota-kota dengan industry berbasis ekonomi perkebunan  menjadi pusat lahirnya kaum intelektual muda Indonesia.  Potret pahit nasib rakyat Indonesia dalam belenggu kolonialisme dan kapitalisme pasar global dapat mereka saksikan dan rasakan yang membuat mereka makin yakin untuk diperjuangkan dan diantarkan menuju gerbang kemerdekaan.

Perjalanan keberbagai kota yang dilakukan HOS Tjokroaminoto, Hamka, H. Agus Salim,(http://Myhistoryofleadership.blogspot.com ) membentuk jaringan intelektual diberbagai kota.  Diskusi-diskusi politik yang dilakukan Soekarno dan kawan-kawan, baik di Surabaya, Bandung makin mengikatkan tumbuhnya jaringan intelektual kaum pribumi yang membuat ide nation Indonesia, Indonesia merdeka, makin kuat, meluas dan mulai mengakar kependuduk pribumi terpelajar.

Tidak ada komentar:

Petisi Soetardjo yang membuat belanda Shock

Petisi Soetardjo yang membuat belanda Shock, tonton sebab , petisi ini berisi keinginan bangsa Indonesia untuk memiliki parlemen pemerintaha...