Learning history for senior high schools
Latar
Belakang
1.
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo
menggantikan Konoe
Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang.
Tojo merupakan Jendral Ultra Nasionalis
yang ingin Jepang menjadi Negara kuat dan ekspansionis.
2.
Jepang membutuhkan daerah sumber
bahan baku atau sumber daya alam bagi
industry
3.
Jepang membutuhkan pasar untuk
tempat pemasaran produk-produk industrinya
4.
Kekayaan alam sangat melimpah
diwilayah Asia Tenggara, khususnya
Indonesia
5.
Wilayah Asia Tenggara dijajah Negara
– Negara Eropa
6.
Negara-negara Eropa ,menjaual bahan
baku industry dengan harga mahal
7.
Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang membuat pabrik - pabrik industri di Jepang
mengalami krisis bahan bakar .
Strategi
Jepang menduduki Indonesia :
1. Operasi militer pendudukan Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Irian
2. Membentuk pemerintahan pendudukan
militer di Indonesia
3. Membentuk gerakan 3 A agar Jepang
mudah diterima bangsa Indonesia
4. Pembela Tanah Air (PETA) dengan tugas membantu Jepang mempertahankan
Indonesia dari serangan sekutu
- Heiho atau barisan prajurit cadangan Jepang dengan tugas membantu berbagai keperluan perang tentara Jepang.
- Seinendan (barisan pemuda)
- Fujinkai (barisan wanita)
- Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
- Jawa Hokokai ( Kebaktian rakyat Jawa )
- Keibodan (barisan pembantu polisi)
- Jibakutai (pasukan berani mati)
- Kempetai (barisan polisi rahasia Jepang)
Jepang menempatkan 300.000 tentaranya di pulau Jawa dan bersenjata lengkap. Kondisi ini membuat para pejuang Indonesia harus berhati-hati terhadap Jepang, sehingga, umumnya menempuh strategi kooperatif terhadap Jepang dengan cara menduduki jabatan-jabatan yang disediakan pemerintah Jepang, tetapi juga ada yang menempuh strategi non kooperatif dengan melakukan perlawanan diam-diam, bahkan konfrontatif.
Tindakan pemerintahan pendudukan Jepang dan antek-anteknya yang sangat keras, menyiksa, memperkosa, merampok rakyat, akhirnya menimbulkan Perlawanan rakyat terhadap Jepang, seperti terjadi di :
Peristiwa
Cot Plieng, Aceh 10 November 1942
Pemberontakan
dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe yang menolak upacara seikirei
dan romusha. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga
Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang
melaksanakan salat Subuh.
Dengan
persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil
memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan
serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir
(ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan
(Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun
akhirnya tertembak saat sedang salat.
Peristiwa Singaparna
Perlawanan
fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan
KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Dia menolak
dengan tegas ajaran Shintoisme, upacara Seikirei dari pemerintah Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan
Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan
cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas
menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan
syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu diapun tidak tahan melihat penderitaan
rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan
menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah
dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang
akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang menyerang dengan
kekuatan militer penuh untuk mengakhiri perlawanan ulama Tasikmalaya tersebut. Pada tanggal 25 Februari
1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah
salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH.
Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.
Peristiwa
Indramayu, April 1944
Peristiwa Indramayu terjadi
bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian
hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah
mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Pemberontakan ini
dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang,
Kabupaten Indramayu.
Pasukan Jepang sengaja
bertindak kejam dengan cara membantai rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan
Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi kekejaman
yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
Pemberontakan
Teuku Hamid
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton
pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada
bulan November 1944. Penyebabnya tindakan Jepang terhadap rakyat seperti
memaksa romusya, memaksa melakukan upacara seikirei, melakukan perampasan
terhadap harta kekayaan rakyat dll
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang
melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau
menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah.
Di
daerah Aceh
lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang
dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira
tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil
ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
Pemberontakan Peta di Blitar (29 Februari 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh
Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.
Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun
Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan.
Sebagai putera rakyat para pejuang
tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih
militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia.
Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi
dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang),
pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira
PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Gerakan
bawah tanah
Sebenarnya
bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia
tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula
melihat betnuk perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
- Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
- Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
- Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa dan pelajar.
- Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun (AL) Jepang.
Mereka
yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi
dan peluang untuk bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha
mereka akan dapat Anda lihat hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu,
kelompok pemudalah yang lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah
yang akhirnya mendesak golongan tua untuk secepatnya melakukan proklamasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar