Learning history for all people
Sejarah Indonesia : Konflik dibalik Proklamasi 17 Agustus1945
Setiap tanggal 17 agustus, setiap
tahun, bukan hanya di Istana Negara, dibanyak desa, bahkan banyak RT ,
mengadakan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai cara dan perlombaan diadakan untuk
bukan hanya untuk memeriahkan acara, tetapi juga untuk membangun kebersamaan,
kekeluargaan, silaturahmi, persatuan diantara warga.
Namun, menengokke masa sebelum
prokalamsi kemerdekaan dibacaan, pada beberapa jam, menit dan detik-detik
sebelumnya, terangkai peristiwa konflik yang melibatkan banyak golongan, partai
dan kepentingan, internal bangsa Indonesia maupun kepentingan asing.
Dalam internal bangsa Indonesia ada
kepentingan ideologis pendukung komunis yang diwakili Wikana, Chaerul Saleh,
Amir Sjarifudin, Tan Malaka, dikalangan Sosialisada Sutan Sjahrir, dikalangan
Nasionalis sekuler ada Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Dikalangan Islam
ada Mr. Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Moezakir. Pihak Jepang, ada Kumakichi Harada, dengan
politik mendorong ummat Islam anti Belanda tetapi melakukan depolitisasi
Islam. Belanda dengan strategi kembali
menjajah Indonesia.
Dari berbagai kepentingan, konflik
ulama dengan tujuan politik merdeka berdasar islam dengan kaum komunis yang
ingin mendirikan Negara komunis di
Indonesia serta kaum nasionalis sekuler yang ingin Indonesia merdeka tetapi
berfaham sekuler.
Strategi politik ulama adalah
melakukan protes social terhadap berbagai perilaku pemerintahan pendudukan
Jepang yang menyiksa rakyat dengan Romusya, Upacara Seikirei, merampas hasil
panen. Seperti pemberontakan rakyat yang
dipimpin para Kyai Di Lohbener, Indramayu,
30 Juli 1944, di Singaparna yang dipimpin KH. Zaenal Mustopa 18 Pebruari
1944, termasuk mendesak Jepang membentuk tentara cadangan dari penduduk pribumi
dan Islam.
Strategi politik kaum komunis dan
sosialis berusaha merdeka secapat mungkin dan menduduki jabatan-jabatan
strategis di pemerintahan Indonesia yang baru berdiri dan melemahkan posisi dan
kekuatan politik anti komunis.
Kaum Nasionalis sekuler mencoba
memanfaatkan setiap momen politik untuk melakukan deislamisasi dan mengurangi
kekuatan kaum komunis.
Sementara Jepang, menggunakan
stretagi mencari dukungan dari ummat Islam untuk perang menghadapi sekutu,
tetapi melakukan deislamisasi bila masalah kekuasaan dalam peta politik
Indonesia. Seolah banyak memberi kepada
ummat Islam tetapi melemahkan kekuatan politik islam.
Jepang yang kian terdesak dalam
perang Asia Pasifik, terlebih setelah jatuhnya Iwojima, membuat situasi politik
aman dan berusaha menahan gerakan protes social dan politik ummat Islam
Indonesia, dengan cara menjanjikan kemerdekaan kelak dikemudian hari dan
menyetujui pembentukan Badan Penyelidik Usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, sambil berharap sekutu mundur dari posisi
garis depan medan perang dan tentara pemerintah Jepang dapat memukul mundur
pasukan sekutu keluar dari kawasan Asia Pasifik.
Namun, bom atom yang dijatuhkan
dikota Hiroshima dan Nagasaki
membuyarkan harapan tentara Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara dan
menciptakan perubahan politik yang sangat cepat dan membuat Jepang kerepotan
melakukan reposisi politiknya di Indonesia.
Sebaliknya, kaum komunis Indonesia,
yang dipromotori Wikana dan Chaerul Saleh berusaha mengambil kesempatan
memperkuat posisi politiknya dengan cara mendesak Soekarno dan Hatta agar
proklamsi kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan, bahkan dengan membawa
Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok.
Strategi politik menculik Soekarno –
Hatta ke Rengasdengklok menimbulkan kegaduhan politik di Jakarta dan membuat
elit politik PPKI mengutus Mr. Achmad Soebardjo
yang kelahiran Karawang, membawa Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta dan merumuskan
naskah proklamasi di Jakarta.
Bertempat dirumah Laksamana Maeda ,
naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun oleh Soekarno – Hatta , dan
besoknya pada hari jum’at 17 agustus 1945 , prokalamasi kemerdekaan Indonesia
dibacakan Ir. Soekarno tepat pada jam 10.00 .
Sumber :
1.
Ahmad
Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2.
Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar