Learning Indonesian history for all people
Tidak ada kekuatan besar di Indonesia yang mampu
mengalahkan peran ulama dalam membangun Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hanya para ulama yang sejak
awal Islam masuk ke Indonesia yang membangun kekuatan politik yang menyatukan
semua kekuatan politik local dari berbagai kepulauan Indonesia yang dalam
perkembangan sejarahnya menjadi kekuatan pendiri dan pelindung Republik Indonesia.
Para ulama di berbagai tempat di Nusantara
menjadi kekuatan penopang kekuatan politik para raja local. Berdirinya kerajaan
Samudra Pasai, Perlak, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon yang didukung Sunan
Gunung Jati, Pajang, Mataram, Goa Tallo, Banjar, Ternate dan Tidore tak lepas
dari peran ulama.
Diawal pendirian, para Ulama dengan para
santrinya berada digaris depan dalam membangun kekuasaan politik para raja local. Ketika kekuasaan telah kokoh, para ulama kembali ke Pesantren
dan Mesjid mereka untuk membangun kekuatan rohani, fisik, dan ilmu ummat yang
dibimbingnya, seraya menyiapkan generasi muda Islam yang lebih kuat, lebih
cerdas dan lebih rahmatan alamin.
Ketika kerajaan mengalami keruntuhan para ulama
tetap membangun pondasi iman, ilmu , kepemimpinan, kesholehan para santri dan
ummat. Raja dan kerajaan oleh runtuh,
tetapi ummat tetap bertahan dan dipersiapkan untuk menghadapi
perubahan-perubahan kedepan.
Ketika kekuasaan colonial Kristen Protestan
Belanda, kekuasaan colonial Kristen Katholik Perancis, kekuasaan Kristen
Protestan Anglikan dengan dukungan Paus Alexander VI , dengan rakus menguasai
dan mengeksploitasi kekayaan alam nusantara dan sumberdaya manusia pribumi
Indonesia, para ulama tetap menyiapkan pondasi generasi Islami dan membangun
perlawanan ideologis, kultural dan politik terhadap kekuasaan kaum colonial
Eropa.
Perang – perang besar seperti Perang melawan
Portugis yang dilakukan Kesultanan Ternate, Perang Sultan Hasanudin di
Makassar, Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro, Perang Sabil Imam Bonjol,
Perang Sabil Aceh memperlihatkan peran ulama dan santrinya yang sangat besar
dalam membangun kekuasaan politik kaum pribumi Indonesia terhadap kekuatan
perusak asing.
Dimasa penjajahan imperalis Asia, Jepang, para
ulama tetap memainkan peran penting sebagai penentang penjajahan Jepang,
pelindung ummat dari cara berfikir kaum Shinto, kaum komunis, kaum sosialis,
kaum nasionalis sekuler yang diam-diam bahkan secara terang-terangan bersekutu
dengan kekuasaan tentara pendudukan Jepang, tanpa ada bukti mereka terlibat
perang dengan tentara Jepang.
Kalimat dalam UUD 1945, “ negara Berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa” tak lepas dari peran Ulama. Kata “ KeTuhanan Yang Maha
Esa “ dalam piagam Jakarta, tak lepas dari peran para ulama, yaitu Kyai Haji
Hasyim Asy’ari ( NU), KiBagus Hadikusumo( Muhammadiyah), Mr. Kasman
Singodimedjo, Mohammad Teuku Hasan ( Aceh) dalam membangun ideology bangsa yang
berlandaskan prinsip Tauhid dalam Islam.
Bahasa Indonesia yang dijadikan bahasa Nasional
Bangsa Indonesia yang awalnya bahasa melayu pasar, juga dibangun oleh para
ulama sebagai bahasa pergaulan dipasar-pasar, pengajian dan pesantren bahkan bahasa
politik di istana kerajaan.
Muhammad Natsir dari partai Masyumi berperan
besar dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui mosi
integralnya dan meruntuhkan system politik yang memecah belah bangsa Indonesia
, Republik Indonesia Serikat, yang diarsiteki Kolonialis Belanda, Van Mook.
Peran berbeda dilakukan Amir Sjarifudin (
Kristen) yang komunis, yang membuat wilayah Republik Indonesia makin sempit
hanya DI Yogyakarta, Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa Timur bagian selatan.
Peran menghancurkan NKRI lebih parah dilakukan
oleh PKI Munawar Muso pada bulan September 1948, dengan memprokalamirkan
berdirinya Sovyet Indonesia ,ketika semua kekuatan NKRI berjuang mempertahankan
kemerdekaan dari upaya agresi militer tentara NICA Belanda.
Demikian juga peristiwa perebutan kekuasaan yang
didalangi PKI pada tanggal 30 bulan September tahun 1965, lagi-lagi berupaya
mendirikan Negara komunis yang secara ideologis atheistic dan hasil pemikiran
yang isinya penuh kedengkian dan hasutan dari Karl Mark yang keturunan Yahudi.
Karena itu sangat naïf bila ada kekuatan politik
yang tak peduli dengan nasehat ulama, sementara mereka tak memiliki peran
panjang dan besar dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia ditanah
Nusantara.
Sumber Pustaka :
Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010, cet ke IV.
Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010, cet ke IV.
2. Sajed Alwi b Thahir Al Hadad. Sejarah perkembangan Islam di Timur
Jauh. Kerajaan Johor, Malaya. Di
Indonesia diterbitkan oleh Almaktab Addaimi tahun 1957
3.
Ahmad
Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Bandung:
Salamadani Pustaka Semesta, 2010.
4.
Deliar
Noer. Partai Islam dipentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Pers,
1987
5.
Wilopo,
S.H. Zaman Pemerintahan Partai – Partai dan kelemahan-kelemahannya.
Jakarta : yayasan Idayu, 1978
6.
Karl
Marx dan Frederich engels. Manifesto of
the communist Party ( 1848) , diterjemahkan oleh DN Aidit, MH Lukman, P
Pardede, Nyoto. Yogyakarta :
Cakrawangsa, 2014.
7.
Audrey
R Kahin. Pergolakan Daerah pada awal
kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
8.
Salman
Iskandar. 55 Tokoh Muslim Indonesia paling berpengaruh. Solo: Tinta Medina,
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar