Learning history for all people
Semangat dengan militansi tinggi untuk menjadi bangsa merdeka
dari penjajahan Belanda pada sebelum dan
sesudah prokalamsi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, baik di Jakarta
maupun diberbagai daerah Indonesia, bahkan hingga kepelosok pedesaan, terutama
pada pemuda terpelajar yang aktif dalam berbagai organisasi pergerakan
kemerdekaan.
Ketika proklamsi kemerdekaan itu datang dan dikumandangkan
tokoh sekaliber Soekarno – Hatta, maka, pengaruhnya sangat kencang kepelosok
Indonesia, termasuk ke daerah Brebes,
Tegal Pemalang . Pengaruhnya bukan sekedar untuk menjadi bangsa
merdeka, bangsa mandiri yang lepas dari kolonialisme dan imperialism Belanda
atau sekedar semangat untuk mengusir bangsa asing, tetapi, semangat yang meluap
– luap untuk merubah tatanan sosial politik dan ekonomi serta budaya yang ada
di daerah mereka.
Selama masa kolonialisme,
baik Belanda maupun Jepang, rakyat didaerah Brebes, Tegal Pemalang mereka terpenjara dengan aturan
Belanda dan terpenjara aturan Jepang, tetapi mereka terpenjara oleh feodalisme
pribumi yang mengakar dan menempel kuat pada kolonialisme Belanda maupun
Jepang. Kebencian terhadap feodalisme
pribumi tak lepas dari peran kaum feudal pribumi yang menjadi kaki tangan
pemerintah colonial Belanda maupun menjadi kaki tangan pemerintahan tentara
pendudukan Jepang.
Melalui kaki tangan pribumi yang menduduki jabatan-jabatan
birokratis , bangsa asing menikmati kekayaan alam dan kerja keras penduduk
pribumi, sementara, kaum pribumi dalam posisi yang tertindas. Karena itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia,
dianggap menjadi pintu masuk untuk merubah tatanan lama ke tatanan baru yang
lebih adil.
Peristiwa tiga daerah di Brebes,
Tegal dan Pemalang dilator belakangi peran kaum birokrat pribumi yang
banyak mendukung kapitalisme Belanda.
Mereka bertindak seperti penyangga kepentingan penjajah terhadap kaum
pribumi dan dengan jabatan ,kedudukan dan wewenang yang dimilikinya ia menekan
rakyat.
Di masa pendudukan Jepang, para birokrat feudal ini menjadi
pengawas ekonomi local, mereka menjadi kaki tangan Jepang dalam pengadaan padi
yang mencapai 50 % hasil panen, mereka juga berperan dalam pengerahan tenaga
kerja paksa ( Romusya ), mereka juga kerap mengkorupsi pemberian kain dari Jepang untuk rakyat, memungut pajak yang
besar disaat petani gagal panen.
Karena perannya yang mengabdi pada kepentingan asing, membuat
rakyat kecewa terhadap peran birokratis mereka dan memicu kemarahan
rakyat. Adanya organisasi Syarekat Islam
yang berideologi Islam dan Syarekat rakyat yang berideologi komunis dan
underbouw Partai Komunis Indonesia, bahkan tokoh-tokoh PKI di Pekalongan
merupakan alumni pemberontakan PKI di tahun 1926, dan mereka membuat kemarahan rakyat disalurkan
kedalam protes dan pemogokan massal.
Radikalisme rakyat dipicu oleh anasir-anasir komunis yang tak
sabar dengan keadaan yang dianggap tak menunjukkan perubahan. Mereka berupaya mengambil jalan pintas
melakukan perubahan sosial dengan memecat dan mempermalukan seorang kepala desa
dan istrinya di daerah Tegal selatan, yang kemudian memicu revolusi sosial diberbagai pedesaan dan akhirnya masuk ke
Brebes, Tegal dan Pemalang 19 oktober dan 4 nopember 1945. Mereka mencari para birokrat yang korup dan bila
bertemu dihakimi oleh massa.
Ketika para pejabat yang dicari tidak ditemukan mereka
menyerbu pasukan Tentara Keamanan Rakyat yang bersenjatakan senjata dari
penyerahan Jepang. Karena mendapat perlawanan dari tentara Keamanan Rakyat,
mereka berbalik menyerang rumah-rumah penduduk China dan Indo Eropa yang
dianggap mendapat hak istimewa baik pada zaman Belanda maupun pada zaman
Jepang. Mereka hanya berupaya merampas
harta kekayaan mereka.
Tetapi, ketika berita tentara Belanda ( NICA ) menyiksa
rakyat di Jakarta, maka kaum revolusioner di Tegal, Pemalang dan Brebes
melakukan pembunuhan tidak hanya terhadap orang-orang China dan indo Eropa pro
Belanda tetapi juga terhadap penduduk keturunan Ambon dan Manado yang dianggap
sangat setia ke pemerintah Belanda. Mereka dicap “ tidak setia kepada Revolusi
Nasional “.
Ketika, penyingkiran terhadap pejabat-pejabat yang setia
kepada Belanda berhasil mereka lakukan, mereka berupaya menguasai jabatan –
jabatan pada birokrasi pemerintahan di Tegal, Brebes dan Pemalang. Upaya kaum komunis menguasai pemerintahan
mendapat tantangan dari kalangan Islam dan TKR.
Karena itu, berbagai tindakan yang dilakukan oleh Front Rakyat (komunis) digagalkan oleh TKR
dan massa kalangan Islam.
Dalam kasus, peristiwatiga daerah, Pemerintah juga mengadili mereka yang dianggap menjadi
pelaku pembunuhan terhadap para pejabat pro Belanda dan Pro Jepang dengan
alasan melanggar hokum dan tata tertib serta keamanan. Perilaku front Rakyat dianggap berlebihan
dalam menerapkan kedaulatan rakyat.
Karena, yang berhak memecat seorang pejabat haruslah pemerintah dengan
tata tertib dan mengacu pada perundangan yang jelas dan bukan oleh suatu badan
yang dibentuk golongan tertentu dan untuk kepentingan politik yang hanya
menguntungkan golongannya saja.
Sumber :
Audrey R Kahin.
Pergolakan Daerah pada awal kemerdekaan. Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar